Asal Usul Suku Kayan

Banyak pendapat simpang siur dan sulit dibuktikan berbicara mengenai asal-mula suku dayak di Kalimantan. Ada yang berpendapat bahwa semua suku dayak termasuk pada kelompok orang yang bermigrasi secara besar-besaran dari daratan Asia. Menurut Mikhail Coomans [1], suku bangsa dayak merupakan keturunan imigran dari wilayah Yunan di Cina Selatan, dari wilayah itulah kelompok-kelompok kecil mengembara melalui Indo-Cina ke jizirah Malaysia yang menjadi batu loncatan untuk memasuki pulau-pulau di indonesia. Selain itu ada ada juga yang memilih batu loncatan lain yakni melalui Hainan, Taiwan dan Filipina. Perpindahan ini agaknya tidak begitu sulit bagi mereka karena terjadi pada zaman glasial (es), sehingga permukaan laut sangat turun dan surut. Dengan demikian, sekalipun mereka menggunakan perahu-perahu kecil dapat saja menyeberngi perairan yang memisahkan pulau-pulau. Kelompok pertama yang masuk ke daratan Kalimantan adalah Proto Melayu. Berlangsung selama seribu tahun antara 3000-1500 tahun sebelum. Kelopok kedua yang juga melakukan perpindahan secara besar-besaran adalah Deutro Melayu sekitar  500 tahun sebelum masehi.

       Jika menelisik gambaran sejarah dan asal-usul Dayak Kayan, masih ada ulasan cerita yang terputus tentang sejarah migrasi, seperti alasan migrasi atau peristiwa konfrontasi yang terjadi di antara sesama suku kayan bahkan dengan suku lainnya. Beberapa tulisan penelitian terdahulu seperti Cristina Eghenter, Sellato, Rousscau pun masih menyisakan tanda tanya. Mereka juga mengakui adanya kesulitan dalam merekontsruksi sejarah masa pra-kolonial, karena fakta dan sumber informasi lisan yang mengungkapkan penceritaan atau pandangan yang saling berbeda tentang persoalan. Bahkan Cristina Eghenter berpendapat bahwa mengidentifikasi alasan-alasan untuk berpindah bagi setiap kasus perpindahan merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan.

Spekulasi bahwa orang Kayan ‘mungkin’ datang ke wilayah Apo Kayan[2] dari wilayah Serawak pada paruh kedua abad ke-17 dan tinggal menetap di kawasan tersebut yang semasa itu kemungkinan dihuni oleh kelompok asli yakni orang Ngorek (Sellato 1992: 3). Serawak Waktu datang dari Malaysia dulu suku Kayan terpecah menjadi sub-suku sesuai dengan nama tempat meraka bermukim. Masing-masing sub-suku tersebut terus bermigrasi melintasi pegunungan ke daerah aliran sungai Mahakam (daerah Long Bagun, Sungai Boh, dll), mengikuti hilir sungai kayan (daerah Tanjung Selor saat ini), dan beberapa dari mereka balik kembali ke kawasan Serawak Malaysia. Misalnya Kayan Uma’ Peliau, bekas kampung mereka hingga sekarang masih ada di sepanjang sungai Kayan, tepatnya di muara sungai Peliau. Begitu juga Kayan Uma’ Puk, juga pindah kembali ke Malaysia namun bekas kampung mereka masih ada di sekitaran sungai Kayan (muara sungai puk).

Sementara Kayan Uma Lekan, sub suku mayoritas yang bermukim di Desa Data Dian berasal sebuah dataran di daerah pegunungan (lekan). Wilayah kampung asli Kayan Uma’ Lekan ini terletak di Apau Lekan perbatasan Sungai Iwan dan Pujungan. Lokasi ini dinilai aman dan strategis dari ancaman musuh karena lebih mudah untuk di pantau. Di bagian bawah kampung dipagar seperti tembok dari kayu besar. Kayu besar itu akan di gelindingkan ke bawah seketika ada kelompok suku suku lain yang berniat jahat datang mengancam.

Secara bertahap kelompok Kayan Uma’ Lekan pindah dengan beberapa alasan, seperti dapat mimpi buruk, dan tanda-tanda alam lain yang menurut pengetahuan lokal terdahulu adalah pertanda buruk. Perpindahan itu terjadi di tempat-tempat yang berbeda. Di masa berpindah-pindah itu ada juga yang bertemu dan bergabung kembali dalam satu wilayah pemukiman. Hingga fase selanjutnya setelah 200 tahun paska kedatangan orang kayan, suku Kenyah menyusul masuk ke Apo Kayan dan menemukan wilayah tersebut dalam keadaan kosong kerena hampir semua orang Kayan sudah pindah. Sehingga Kayan Uma’ Lekan menjadi satu-satunya suku kayan yang tersisa di kawasan Apo Kayan di Desa Data Dian. Dikelilingi oleh kelompok suku Kenyah di desa-desa terdekat mereka seperti Long Nawang, Long Ampung, Sei. Anai, dll.

Kasus perpindahan dan perpecahan Kayan Uma’ Lekan pada awal abad ini secara umum dapat disimpulkan terjadi karena alasan lingkungan, sosial, dan religius yang timbul secara serentak. Orang Uma’ Lekan semasa itu tinggal di Naha Kalo, sebuah kampung di tepi sungai kayan, sedikit ke hilir dari lokasi kampung Data Dian sekarang. Mereka memutuskan berpindah karena lahan disana tidak subur lagi. Di bawah kepemimpinan Ngau mereka memilih pindah menuju lokasi Jelerai Pura di kawasan sungai Pura. Kelompok ini akhirnya terus berpindah hingga akhirnya saat ini bermukim di kawasan Long Hiban Tanjung Selor sekarang. Fase berikutnya di bawah kepemimpinan Apui, saudara laki-laki Ngau berniat ingin menyusul namun di tengah perjalanan mereka menemui pertanda buruk, yaitu bu’ung (sejenis ular berekor merah). Menurut kepercayaan kayan melihat atau mengusik bu’ung dalam perjalanan hendak ke ladang, berburu, atau berpindah, akan mendatangkan kesialan sehingga perjalanan harus dibatalkan. Kelompok ini akhirnya memutuskan berpindah ke Long Nah, di sebelah hulu Naha’ Kalo. Satu kelompok kecil lagi dipimpin oleh Wan yang juga saudara laki-laki Ngau memutuskan pindah ke Long Lakwei.

Setelah orang dari Kelompok Long Nah berpindah ke Data Dian, ada upaya dari kedua kelapa kelompok untuk bergabung kembali. Perpindahan-perpindahan jarak dekat terus terjadi dari Data Dian ke Utan Wau dan  Hit Aya’ ke Takujang Lejau. Kedua kelompok itu akhirnya kembali bersatu di Ganuyang, sedikit banyak karena ada tekanan dari Pimentel, komandan Belanda setempat pada saat itu. Peristiwa tersebut menjadi cikal bakal orang Kayan yang kini menetap di Desa Data Dian, Kec Kayan Hilir, Kab Malinau.



[1] Dr. Mikhaill Coomans, lahir pada 5 Juni 1933 di Belanda. Sesudah mengikuti sekolah tinggi Filsafat dan Treologia, ia melanjutkan sekolahnya di Universitas Nijmegen dengan spesialisasi dibidang misiologi dan antropologi. Setelah menyelesaikan study tersebut dia pindah ke Indonesia pada tahun 1964, mempelajari kebudayaan masyarakat di Kalimantan sambil berkarya sebagai pastor. Berpartisipasi dalam kehidupan suku dayak di pedalaman Kalimantan Timur. Menjadi warga negara Indonesia pada tahun 1980 dan dianugerahi gelah doktor berdasarkan disertasinya yang berjudul “Evangelisatie and Kulturverandering”.

[2] Apo/Apau berarti dataran tinggi pegunungan. Apo Kayan berarti kawasan dataran tinggi atau pegunungan yang dialiri oleh sebuah sungai besar yaitu sungai kayan.

Bagikan post ini: